Topik Terkini

4 Nov 2010


Jakarta - Ibukota layaknya kota pemakan segala yang rakus. Hasilnya, 'perut' Jakarta berantakan menghasilkan macet, banjir, kriminalitas tinggi dan lainnya. Bagaimana mengatasinya?

Jakarta, dinilai ekonom sekaligus dosen Universitas Indonesia Faisal Basri, tidak memiliki tata ruang yang baik serta fokus perkembangan daerah. Jakarta terlalu memuaskan diri dan 'rakus' karena tidak hanya menjadi ibukota negara tetapi juga pusat ekonomi, pusat industri, pusat hiburan dan lainnya.

Sebuah wilayah memiliki keterbatasan sehingga perlu tata kota dan pemetaan yang jelas. "Sekarang misalnya, distribusi ekonomi hiburan terpusat di Semanggi. Akhirnya, kemacetan dan polusi. Kita semua jadi capek. Tidak perlu ahli untuk memahami bahwa Jakarta sedang sekarat. Orang tolol juga tahu," tegas Faisal.

Selain itu, Jakarta tidak punya misi dan rencana masa depan. Semua kegiatan ekonomi terjadi di Jakarta dari kelas menengah ke bawah seperti pemotongan hewan dan transaksi sayuran hingga transaksi high end.

"Kita semua terpaksa menikmati semuanya seperti macet dan banjir. Masalah yang ada di Jakarta tidak akan pernah bisa terselesaikan jika tidak memperhatikan lingkungan lain."

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota DPR Komisi VI Ferrari Romawi. Jumlah kendaraan di Jakarta sudah terlalu banyak. Motor misalnya, sudah lebih dari 6 juta. Lebih dari 500 ribu mobil juga beroperasi di Jabodetabek.

Oleh karena itu, Ferrari mengajukan beberapa cara untuk menyelesaikan masalah Jakarta. Menurutnya, Ibukota harus membuat penambahan jalan di kawasan rawan macet dan percepatan pembangunan jalan tol. Selain itu, pemerintah daerah harus membuat sistem kendaraan umum yang terpadu.

"Kita harus mengalokasikan busway, kereta dan angkutan umum dengan pengaturan tertentu sehingga tidak berantakan seperti saat ini," kata Ferrari. Tidak hanya masyarakat yang harus memantuhi aturan itu, tetapi juga pejabat derah.

Jangan sampai banyak 'raja' daerah yang meminta pengecualian. Bagaimana bisa menyelesaikan permasalah masyarakat jika penentu kebijakan tidak merasakannya, sesal Ferrari.

Jakarta perlu dibuat pula daerah resapan dan banjir kanal lainnya. "Koordinasi kebutuhan harus diatur karena masing-masing wilayah diakui punya kepentingan yang berbeda," ujar Ferrari.

Yang paling penting, menurut Ferrari, Jakarta membutuhkan sikap konsisten dari pemerintah. Kebijakan tata kota harus berubah namun perlu disepakati dalam kurun waktu yang lama, 25 tahun misalnya. "Jangan sampai, beda pejabat pemerintah kemudian beda kebijakan pula. Terlalu banyak rencana pada akhirnya minim aplikasi."

Solusi lain yang ditawarkan Faisal Basri adalah pemerintah daerah mengalokasikan sejumlah uang ke daerah lain. Misalnya, menjadikan pusat industri di Tangerang atau Bekasi. "Biar para pekerja banyak yang pindah saat pusat industri juga dipindahkan. Kita perlu restrukturisasi dan revitalisasi," kata Faisal Basri.

Selain itu, pemerintah harus membenahi stasiun dan berbagai fasilitas umum dengan mengajak pihak pengembang. Layanan tersebut seharusnya menjadi produk komersial seperti di Jepang.

Sikap tegas pemerintah daerah menjadi pekerjaan rumah yang paling sulit. Semua penduduk harus tunduk aturan, tanpa terkecuali. Hal mendasar misalnya, tidak boleh ada satupun orang parkir di bahu jalan.

"Saat ini, pemerintah daerah telah bekerja maksimal," ungkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI, Hery Baskoro. Pihaknya telah membuat kawasan hijau di berbagai tempat. Mereka juga berencana memperlebar kawasan drainase.

Ke depan, pemerintah daerah akan membangun enam ruas jalan tol dan dua jalan layang bukan tol. Dua jalan layang ini dari ruas Casablanca ke Mas Mansyur dan jalur Mampang hingga Cipete

0 komentar:

Posting Komentar