JAKARTA - Penguatan rupiah khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai sudah mengkhawatirkan.Jika tidak dibatasi,ini bisa berdampak ke penyusutan surplus neraca perdagangan.
“Seharusnya Bank Indonesia (BI) tidak membiarkan rupiah terlalu menguat,” ungkap Ekonom Tony Prasetyantono di Jakarta.
Berdasarkan kurs tengah BI, dalam sepakan lalu rupiah bergerak di kisaran Rp8.922 per dolar AS, meski sempat melemah ke Rp8.947 per dolar AS pada Selasa (5/10/2010).
Penguatan rupiah tidak lepas dari masuknya dana asing (capital inflow) sebesar Rp115 triliun sejak awal tahun hingga September. Menurut Tony, seharusnya BI punya target,sampai kapan rupiah boleh menguat. Misalnya, di level Rp9.000 per dolar AS.
"Lebih dari itu, maka bank sentral akan mengintervensi dengan membeli dolar AS,”ujarnya.
Tony khawatir,jika rupiah terus menguat dan dibiarkan, surplus neraca perdagangan akan tergerus. Dia merujuk data perdagangan Juli yang mengalami defisit USD128,7 juta karena nilai impor yang lebih besar.Lebih jauh, Tony menilai penguatan rupiah adalah anomali di tengah pelemahan mata uang sejumlah negara.
“Rupiah menguat itu aneh karena negara lain sedang melemahkan kursnya agar ekspor naik dan impor turun," tuturnya.
Pengamat pasar uang Mirza Adityaswara juga mengkhawatirkan derasnya capital inflow yang telah mengangkat nilai tukar rupiah.“ Ini memang masalah,karena hot moneyini tidak bisa dimanfaatkan ke sektor riil,”katanya.
Derasnya dana asing yang masuk, lanjut Mirza, membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun ini (year to date) menguat 5,6 persen.Padahal,mata uang Korea hanya naik 1,95 persen, Brasil 2,33 persen, India 3,52 persen dan China 2,08 persen.
“Jika Rupiah terlalu menguat, ekspor manufaktur menjadi tidak kompetitif,”ujarnya.
Berdasarkan catatan BI,hingga akhir September 2010, dana asing di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai 25 persen atau Rp64 triliun. Sementara porsi asing di Surat Utang Negara (SUN) mencapai 30 persen atau Rp182 triliun.
Gubernur BI Darmin Nasution sebelumnya mengatakan, penguatan rupiah belum mengkhawatirkan. Kondisi tersebut sudah diantisipasi dengan menjaga volatilitasnya agar tidak terlalu besar.
“Penguatan sebesar 5,6 persen secara year to date menandakan rupiah tidak terapresiasi terlalu tinggi atau terlalu rendah,namun di tengah-tengah,”bebernya.
Di Washington, sejumlah negara, di antaranya China dan Jepang tengah berupaya membatasi penguatan nilai tukar mata uangnya, khususnya terhadap dolar AS. Isu ini bahkan dibawa dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di Washington.Namun, dalam pertemuan akhir pekan lalu, para pejabat tinggi lembaga keuangan dunia gagal mencapai konsensus mengenai langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perang mata uang.
Dalam pertemuan itu disebutkan, IMF harus melanjutkan studi untuk mengatasi gesekan antara ekonomi utama termasuk China dan AS. Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan, tidak adanya sebuah pernyataan yang kuat dalam pengambilan keputusan pekan lalu disebabkan adanya satu kendala, yakni ketidaksepakatan para anggota. Di lain pihak, Gubernur Bank Sentral China Zhou Xiaochuan menolak tuntutan percepatan revaluasi yuan.
Dia menyatakan, reformasi yuan akan dilakukan secara bertahap. Berdasarkan data IMF yang dirilis baru-baru ini, Pemerintah China disebutkan memiliki cadangan devisa senilai USD2,47 triliun, terbesar di dunia
0 komentar:
Posting Komentar