KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah
pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri Nahdhatul Ulama
(NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan
Nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.
Kiai Hasyim lahir pada Selasa
Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari
l871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah
utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan KiaiAsy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah
tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman
sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya
melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya
senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi
sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya
ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah
ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka
adalah untuk membina masyarakat disana.
Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah
oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah,
masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu
agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung
bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu
bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh
kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat
besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13
tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang
lebih besar daripada dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal
rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek,
mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan
waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan
berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal
menuntut ilmu.
Mencari Ilmu
Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim
meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu
pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang,
lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban,
dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang
diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren
Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul
Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di
Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa
dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan
Kiai Ya’qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun disana. Lalu pada usia
21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai
Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama
istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji.
Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu
pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama
ilmu hadis. Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan
seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan
mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga;
gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai
Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri
mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.
Empat puluh hari kemudian, putra beliau,
Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak
tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan
thawaf dan ibadah-ibadah lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali keIndonesiauntuk mengantar mertuanya pulang.
Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati
Kiai Hasyim untuk kembali lagi kekotaMekah. Pada tahun 1309 H/1893 M,
beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun
Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah
tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim
hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh
waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di
tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri
berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’,
Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi
beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di
luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.
Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai
Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin
dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam
hari disana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota
Mekkah guna menunaikan salat Jum’at disana.
Kiai Hasyim juga rajin menemui
ulama-ulama besar untuk belajar ilmu dan mengambil berkah dari mereka.
Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn
Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi,
Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani,
Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya,
antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim
al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan
al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi,
dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di
antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan
Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain
al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai
Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama
Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib
al-Minakabawi, dll. Disanabeliau mempunyai banyak murid dari berbagai
negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti
diBombay,India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab
Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas,
Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri
(Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Pada tahun ketujuh di Makkah, tepatnya
tahun 1899 (1315H), datang rombongan jamaah haji dariIndonesia. Diantara
rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta
putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai
Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim
bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau
tinggal diKediriselama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai
Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan
tinggal disanamembantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya,
Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200
meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak
tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang
lebih 1 km. Disanabeliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari
bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren
Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat
menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng,
Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah.
Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai
Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai
Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah,
(4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul
Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh
wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri
Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari
pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1)
Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khodijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai
Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi
pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda
informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim
tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada
kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang
bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit
dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan
waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan
menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan
rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai
wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang
matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah
al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh
yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di
samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan
merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain
sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai
hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim
mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air
wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos
putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior.
Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain
al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra.
Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah
waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui
tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur,
kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah),
sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan
zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah
di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang
waktu asar.
Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai
Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi.
Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau
kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar
para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan
adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa
terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca
setiap selesai salat asar.
Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim
menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai
daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri,
Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung,
Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah,
pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan
banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari,
jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi
di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah
ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab
Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir
al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah
Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri
kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu
kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak
(sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok
untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna
malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah
beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai
Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang
subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai
para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara
otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri.Adayang mondok hanya
dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun.
Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri
yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka
untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia
pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap
santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu.
Mengajarlah disana, minimal mengajar ngaji.”
Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916,
Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan.
Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan
kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca
(khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama
Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan
huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan
metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas
musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas
musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan
Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi,
yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH.
Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah).
Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh
Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka
tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan
kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk
dapat memasuki masrasahlimatahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan
sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai
landasan penting bagi pendidikan madrasahlimatahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng
secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya
ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan
geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran
ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928
kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas,
sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan
Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng
sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim
tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah
mengaji.Parasantri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2
kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai
Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah.
Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang
lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan
kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti
jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim
juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang
mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh
putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris
dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim
kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa
asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya
membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at
Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an.
Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada
santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh
memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak pernah beliau
tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga
sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat
shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya
untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh
membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid)
secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai
pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya
bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai
Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan
menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa
amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di
Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para
santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai
Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung
mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud.
Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di
malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud
diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an
lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika
sampai padasuratAd-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit
sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka
memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan
bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian
air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim
merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil
menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang
lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk
melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari
tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon
ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi
berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan
murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah
yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
* * *
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur
sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur,
terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca
al-Qu’ansuratal-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad).
Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari
padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan
perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk
khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di
siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu
dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan
masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia
sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin
bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah
menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa
nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
* * *
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai
Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur,
beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk
mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua
putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi
disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang
putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah.
Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api
neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit
dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin
parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur
lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri.
Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah
yang terasa sakit, kakak?” Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku
menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau
berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh
sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku
kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa,
tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”
Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan
berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan
waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang
dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk
membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang
merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya,
ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah,
Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi
Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli
Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis
di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat,
dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi
jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak
orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai
Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti
al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.
Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya
interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20
Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy
Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan
pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan
dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai
Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara
Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun
al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu
diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di
dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum
(istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm
tentang taqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat.
Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak
merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya.
Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’
ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof.
Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959,
tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati,
meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat
biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan
mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada
25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat.
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang
dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah
dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di
salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan
perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan,
permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama
terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63
halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan
pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan
kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi
polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya
juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai
Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144
halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah.
Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi
tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak
dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah
al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya
menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah.
Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian
tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah.
Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas
perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan
kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-KubraSurabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa
al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai
Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab
lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh
syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar).
Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat,
thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab
al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14. Adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama
Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan
pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad
bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum
karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa
al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn
Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy
Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama,
seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil
Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar
di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani
(Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id
al-Yamani.
Selain kitab-kitab tersebut di atas,
terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga
kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
Komite Hijaz dan Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung
bangsaIndonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan
Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke
mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan
keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun
1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut
Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka
Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapakota. Tokoh
utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah
(tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan,
pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja SaudiArabia, Ibnu
Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara.
Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang
selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat
sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak
pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya,
kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta
tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres
Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan
kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya,
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH.
Wahab Hasbullah ini datang keSaudi Arabiadan meminta Raja Ibnu Saud
untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula
tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga
rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas
melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul
afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi
yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy’ari
yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu
belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin
berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalansana, Kiai
Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu
mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin
(kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk
menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda
As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakansuratThaha ayat
23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan
As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar.
”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi
pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim
masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad
kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai
Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil
menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan
ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya
menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah
kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat
hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa
gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat
istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah
meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari
1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul
Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai
Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan
anggota terbesar diIndonesia, bahkan diAsia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan
hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham
pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham
bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh
antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola
pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi
masyarakatIndonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh
para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh
KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide
Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi
menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam
pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang
tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh
tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para
kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan
kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim
dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode
tahun 1937-1942).
Berjuang Mengusir Penjajah
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di
Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah
Belanda terhadap rakyatIndonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan
membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang
sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan
pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh
bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta
dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke
tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi
kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam,
Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang
adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei.
Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arahTokyosetiap
pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan
ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut.
Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari
penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan,Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh
berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan
fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat
digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh,
segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai
berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan
dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes
dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga
berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di
Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara
NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris,
berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan
Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan,Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar
dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari
sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 diSurabaya—umat Islam
membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi
umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am
(Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah,
Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal
dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah,
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung
Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.
Dipanggil Yang Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H.,
bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru
saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di
kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama
kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo.
Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan
Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikansuratdari Jenderal
Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda
melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di
wilayah Karesidenan Malang, Basuki,Surabaya, Madura, Bojonegoro,Kediri,
dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari
diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh
Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen
mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan
runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada
tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawasuratuntuk disampaikan kepada
Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando
jihad fi sabilillah bagi umat IslamIndonesia, karena saat itu Belanda
telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar
Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali
meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh
mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya)
bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai
basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan
Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil
kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya
Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak
sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak
berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan
setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil
pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding)
yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan
dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh
KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa Inna
Ilayhi Raji’un.
0 komentar:
Posting Komentar