YOGYAKARTA—
Desi Priharyana (17), siswa kelas 1 SMKN 2 Jetis, terbilang pekerja
keras. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga, dia ikut bekerja demi
membantu biaya sekolah dan kehidupan keluarga. Desi melakukan pekerjaan
apa saja yang penting halal, mulai berjualan slondok hingga menjadi
buruh bangunan.
Rabu (22/1/2014) pagi, warga Dusun Taino, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sleman, ini berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda dengan krombong hijau di jok belakang. Krombong itu berisi bungkusan-bungkusan slondok. Derasnya air hujan pagi itu tidak pernah menyurutkan niat pelajar kelas 1 SMKN 2 Jetis jurusan Teknik Konstruksi Batu dan Beton ini untuk terus mengayuh sepedanya sejauh 12 kilometer menuju sekolahnya di SMKN 2 Jetis, Kota Yogyakarta.
Desi harus berjualan slondok di sepanjang jalan yang dilewatinya ketika berangkat dan pulang sekolah. Tak pernah sekalipun mulutnya mengucapkan kata mengeluh atau malu demi memenuhi biaya sekolah dan kebutuhan hidup keluarganya.
"Kenapa harus malu, toh apa yang saya lakukan ini tidak melanggar hukum," terang Desi saat ditemui di sekolahnya, SMKN 2 Jetis, Kota Yogyakarta, Rabu (22/1/2014) siang.
Desi mengaku sudah berjualan slondok sejak di bangku kelas 3 SMP. Sebelumnya, ia pernah beternak bebek, berjualan telor, tahu, dan tempe. Bahkan, dia juga pernah menjadi buruh bangunan.
"Asal halal dan tidak merugikan orang lain, pekerjaan apa pun saya lakukan untuk bertahan hidup dan biayai sekolah," ucapnya.
Desi tidak bisa bertahan lama menjadi peternak bebek dan buruh bangunan karena terbentur dengan jadwal sekolah. Akhirnya, dia memutuskan untuk menekuni bisnis makanan slondok. Selain modalnya kecil, dia juga memiliki saudara yang siap memasok slondok.
"Modalnya dari ternak bebek. Awal beli slondok dengan uang 50.000. Sekarang modal saya sudah lumayan, ya sekitar 1 jutaan," katanya.
Setiap hari Desi bisa membawa sekitar 25 bungkus slondok di dalam krombong-nya. Per hari rata-rata Desi mampu menjual 10-25 bungkus slondok. Untuk satu bungkus slondok dijual Rp 7.000.
"Pembelinya ya orang-orang yang ada di pinggir jalan. Selain itu, guru-guru serta teman-teman sekolah. Satu bulan keuntungan bersih dari jualan slondok bisa sekitar Rp 200.000," kata Desi.
Uang hasil penjualan slondok tersebut, menurutnya, digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah ia dan adik perempuannya. Sisanya ditabung untuk biaya rencana kuliah.
"Setiap hari, adik selalu saya kasih uang saku Rp 10.000. Ya, untuk uang transpor dan sekadar jajan," katanya.
Sejak ibunya meninggal pada tahun 2000, kini Desi hidup bersama ayah dan seorang adiknya, Rini Dwi Lestari (15). Dulu, kata Desi, kehidupan keluarga bergantung kepada ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, setelah ibunya meninggal dan tawaran kerja untuk ayahnya berkurang, mau tidak mau sebagai anak pertama Desi harus ikut membantu perekonomian keluarga.
"Selama hidup, saya tidak pernah meminta apa pun kepada orangtua, kecuali doa restu mereka," katanya
Rabu (22/1/2014) pagi, warga Dusun Taino, Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sleman, ini berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda dengan krombong hijau di jok belakang. Krombong itu berisi bungkusan-bungkusan slondok. Derasnya air hujan pagi itu tidak pernah menyurutkan niat pelajar kelas 1 SMKN 2 Jetis jurusan Teknik Konstruksi Batu dan Beton ini untuk terus mengayuh sepedanya sejauh 12 kilometer menuju sekolahnya di SMKN 2 Jetis, Kota Yogyakarta.
Desi harus berjualan slondok di sepanjang jalan yang dilewatinya ketika berangkat dan pulang sekolah. Tak pernah sekalipun mulutnya mengucapkan kata mengeluh atau malu demi memenuhi biaya sekolah dan kebutuhan hidup keluarganya.
"Kenapa harus malu, toh apa yang saya lakukan ini tidak melanggar hukum," terang Desi saat ditemui di sekolahnya, SMKN 2 Jetis, Kota Yogyakarta, Rabu (22/1/2014) siang.
Desi mengaku sudah berjualan slondok sejak di bangku kelas 3 SMP. Sebelumnya, ia pernah beternak bebek, berjualan telor, tahu, dan tempe. Bahkan, dia juga pernah menjadi buruh bangunan.
"Asal halal dan tidak merugikan orang lain, pekerjaan apa pun saya lakukan untuk bertahan hidup dan biayai sekolah," ucapnya.
Desi tidak bisa bertahan lama menjadi peternak bebek dan buruh bangunan karena terbentur dengan jadwal sekolah. Akhirnya, dia memutuskan untuk menekuni bisnis makanan slondok. Selain modalnya kecil, dia juga memiliki saudara yang siap memasok slondok.
"Modalnya dari ternak bebek. Awal beli slondok dengan uang 50.000. Sekarang modal saya sudah lumayan, ya sekitar 1 jutaan," katanya.
Setiap hari Desi bisa membawa sekitar 25 bungkus slondok di dalam krombong-nya. Per hari rata-rata Desi mampu menjual 10-25 bungkus slondok. Untuk satu bungkus slondok dijual Rp 7.000.
"Pembelinya ya orang-orang yang ada di pinggir jalan. Selain itu, guru-guru serta teman-teman sekolah. Satu bulan keuntungan bersih dari jualan slondok bisa sekitar Rp 200.000," kata Desi.
Uang hasil penjualan slondok tersebut, menurutnya, digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah ia dan adik perempuannya. Sisanya ditabung untuk biaya rencana kuliah.
"Setiap hari, adik selalu saya kasih uang saku Rp 10.000. Ya, untuk uang transpor dan sekadar jajan," katanya.
Sejak ibunya meninggal pada tahun 2000, kini Desi hidup bersama ayah dan seorang adiknya, Rini Dwi Lestari (15). Dulu, kata Desi, kehidupan keluarga bergantung kepada ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, setelah ibunya meninggal dan tawaran kerja untuk ayahnya berkurang, mau tidak mau sebagai anak pertama Desi harus ikut membantu perekonomian keluarga.
"Selama hidup, saya tidak pernah meminta apa pun kepada orangtua, kecuali doa restu mereka," katanya
sumber : kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar