Topik Terkini

19 Okt 2010

Belum lama ini ada berita bahwa Dinas Intelijen AS mengeluarkan prediksi tentang kekuatan negara di dunia tahun 2020. Dalam prediksi itu, Indonesia diperkirakan menjadi negara ke-5 atau ke-6 di dunia setelah AS, China, India, Brasil, dan Jepang. Melihat kondisi Indonesia dewasa ini timbul pertanyaan apakah itu mungkin dapat terjadi. Mungkin sekali yang dipakai sebagai ukuran adalah Produk Domestik Bruto, PDB, atau Gross Domestic Product (GDP) yang dicapai Indonesia pada tahun 2020.

Ada sementara pakar ekonomi mengatakan bahwa mungkin saja itu terjadi, mengingat besarnya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Akan tetapi mungkin sekali angka PDB Indonesia akan jauh lebih tinggi dari angka Produk Nasional Bruto PNB, atau Gross National Product (GNP). Seperti kita ketahui, angka PDB menunjukkan seluruh produksi yang terjadi di bumi Indonesia, baik dari produsen Indonesia maupun pihak asing. Sementara itu, PNB adalah produksi bangsa Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

PDB tinggi itu lebih disebabkan oleh produksi pihak asing di Indonesia. Produksi bangsa Indonesia yang dinyatakan dalam PNB akan jauh lebih rendah dari PDB. Sekarang saja PDB sudah lebih tinggi dari PNB yang menunjukkan bahwa produksi pihak asing di Indonesia lebih besar dari produksi bangsa Indonesia. Menurut Biro Pusat Statistik untuk tahun 2005 PDB berjumlah Rp 2.729,7 triliun, sedangkan PNB Rp 2.644,3 triliun. Kalau Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dilihat dari PDB, sedangkan selisihnya dengan PNBnya besar, itu berarti Indonesia yang didominasi pihak asing, tidak beda dari Indonesia di masa penjajahan Belanda. Maka prediksi pihak intelijen AS itu sebenarnya tentang Indonesia dalam status neo-kolonialisme. Prediksi itu mengandung niat untuk menjajah kembali Indonesia pada tahun 2020, sekalipun dengan cara amat halus.

Gigih dan Bersungguh-sungguh Mungkin di antara orang Indonesia ada yang tidak peduli apakah terjadi penjajahan kembali, asalkan ia dapat hidup enak. Tidak beda dari orang-orang yang dulu berpihak kepada Belanda ketika bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Akan tetapi pasti, jumlah orang itu jauh lebih sedikit dari yang menolak neo-kolonialisme.

Untuk mencegah hal itu kuncinya ada pada manusia Indonesia, khususnya mereka yang beruntung dapat meraih kepintaran dan kemampuan untuk menciptakan kemajuan bangsa, yaitu kaum cendekiawan Indonesia. Perjuangan mencegah neo-kolonialisme harus dilakukan seluruh bangsa, akan tetapi mengingat pentingnya faktor ekonomi, terutama peran kaum cendekiawan menentukan keberhasilannya.

Kaum cendekiawan Indonesia harus mampu mewujudkan kekuatan Indonesia yang benar, yang genuine, bukan semu atau samar. Untuk itu, mereka harus menjadi orang yang sanggup mengeluarkan energi yang besar untuk menghasilkan perbuatan nyata dan sukses. Banyak orang Indonesia yang pintar, cerdas, cakap, tetapi kurang mampu menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kepintarannya itu.

Mungkin sekali ia menghasilkan teori dan konsep yang brilyan serta menyampaikannya secara hebat kepada umum. Akan tetapi jarang hal itu dilanjutkan dengan perbuatan yang secara gigih dan sungguh-sungguh mewujudkan apa yang menjadi konsep atau teorinya. Itu terjadi sejak kepemimpinan Bung Karno, presiden kita pertama, hingga sekarang. Hal itu disebabkan karena kurang ada kesediaan untuk mengembangkan kemauan serta mengeluarkan energi yang memadai agar semua gagasan menjadi kenyataan.

Orang kita terlalu lekas puas, bahkan sudah puas dan merasa sukses dan berhasil kalau sudah membuat konsep atau mengemukakan gagasannya. Orang mengira dengan wacana sudah tercapai tujuannya! Kalau kelemahan ini tidak dapat kita atasi, memang besar kemungkinan Indonesia akan dijajah kembali. SDA Indonesia begitu kaya dan hebat, dan banyak pihak asing ingin mengembangkannya. Memang Indonesia akan tampak sebagai negara besar di dunia, tetapi itu kekuatan semu.

Bangsa Pembantu

Indonesia merupakan kekuatan besar yang benar kalau SDA-nya, termasuk posisi geografi yang amat strategis, dikembangkan dan dikelola dengan penuh dinamika dan kesungguhan oleh putra-putra Indonesia sendiri. Itu tidak berarti kita menolak partisipasi dan investasi pihak asing.

China membuktikan bahwa investasi asing yang besar dapat dimanfaatkan untuk memajukan kemampuan bangsanya sendiri. Syaratnya, orang tidak mau dijajah dan berusaha belajar sebanyak mungkin dari hal-hal yang dikerjakan pihak asing.

Kemudian membangun sendiri usaha serupa yang mula-mula menyaingi dan akhirnya mengalahkan usaha asing dengan hasil produksi yang tidak kalah mutunya dan lebih murah harganya. Dan orang yang duduk di pemerintahan membuat peraturan yang memungkinkan usaha bangsanya mencapai sukses.

Ini hanya mungkin kalau patriotisme kuat, ada semangat juang yang sanggup mengeluarkan energi yang diperlukan serta persatuan antara orang Indonesia sendiri, baik yang pengusaha maupun birokrasi.

Perdebatan mengenai sistem ekonomi di Indonesia tidak banyak manfaatnya, karena semua hanya omong belaka tanpa menunjukkan bukti nyata. Yang diperlukan adalah sikap yang memanfaatkan segala cara untuk memungkinkan rakyat berproduksi dan mencapai kesejahteraan setinggi mungkin. Ada usaha agar kemiskinan dan pengangguran makin turun serta terjadi peningkatan penghasilan rakyat banyak, makin lama makin luas dan kuat golongan menengah Indonesia, dibuktikan dengan makin meningkatnya PNB serta penghasilan per kapita. Setelah itu boleh memberikan nama kepada sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia, umpama sistem ekonomi Pancasila.

Tantangan kita adalah: mungkinkah kaum cendekiawan kita mau mengakui kelemahan itu dan menerima untuk melakukan perubahan sikap secara radikal? Dan kalau pikirannya setuju, sanggupkah untuk secara nyata melakukan perubahan mental yang amat radikal itu?

Hingga kini orang masih lebih suka bicara belaka dan makin kritis terhadap keadaan merasa makin hebat dan berjasa untuk bangsa. Dan ini meluas di seluruh kalangan cendekiawan. Tentu ada perkecualian, tetapi orang-orang yang dengan sungguh-sungguh dan sanggup mengeluarkan energi untuk berbuat merupakan minoritas dalam kalangan cerdik-pandai kita.

Kalau perubahan itu tidak dapat terjadi, tidak mustahil pada tahun 2020 Indonesia menjadi negara kelima terkaya di dunia. Akan tetapi bangsa Indonesia hanya menjadi pembantu belaka dalam kehidupan yang didominasi orang asing. Dalam hal itu kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa selain diri kita sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar