Topik Terkini

14 Des 2010



Kesultanan Jogjakarta merasa keputusan pemilihan gubernur lewat pemilihan hanya bagian dari upaya sistematis pemerintah pusat mengerdilkan pihaknya. Selain menggerogoti kewenangan mengatur masyarakat, aset keraton juga tak luput ikut dipangkas. "Kami ini terus digerogoti, tidak tahu kenapa kok jadinya seperti ini," keluh Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo, saat ditemui di kediamannya, Ndalem Joyokusuman, komplek keraton Jogjakarta. Menurut dia, hingga saat ini, sudah banyak tanah kesultanan (Sultanad Ground) yang beralih tangan.

Diantaranya, Istana Negara Gedung Agung Jogjakarta yang terletak hanya sekitar 300 meter dari Keraton. Menurut adik Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X) tersebut, tanah seluas 43.585 meter persegi di sana merupakan bagian dari tanah kesultanan. "Tapi, tanpa sepengetahuan dan pembicaraan dengan kami, ternyata tanah tersebut sudah disertifikatkan atas nama sekretariat negara," katanya.Istana tersebut dibangun saat Hamengkubuwono I berkuasa. Sempat dibangun ulang saat kesultanan dipegang Hamengkubuwono IX. Sebab, seiring berakhirnya pendudukan Jepang, banyak bagian gedungnya ikut dibawa pasukan Nippon waktu itu. "Kesultanan pulalah yang membangun ulang, yaitu HB IX," tambah Joyokusumo.

Tidak hanya Gedung Agung, tanah di bawah Benteng Vrederburg yang berada tepat di depannya ternyata juga sudah disertifikatkan atas nama sekretariat negara. "Saya sudah mempersoalkan hal-hal seperti ini lewat DPR, tapi tidak terlalu banyak ditanggapi," ungkap mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar tersebut.

Joyokusumo juga menjelaskan, nasib yang sama juga terjadi pada tanah kesultanan yang ditempati Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta. Tanah di sana sudah diatasnamakan kementrian pendidikan. "Masih ada di beberapa lokasi lain lagi, sepertinya ini semua memang ada upaya gembosi Jogja," imbuh pejabat keraton setara sekretaris negara tersebut.
Di sisi lain, ribuan hektar tanah kesultanan yang tersebar di beberapa wilayah dalam Provinsi DIJ, tetap belum bisa disertifikatkan sampa sekarang. Selama ini, izin mendirikan bangunan di atas tanah kesultanan hanya diproses oleh BPN dengan menggunakan surat kekancingan. "Belum ada sama sekali yang bisa disertifikatkan," keluh Joyokusumo. Komitmen keistimewaan dalam hal agraria yang telah disepakati pemerintah dan DPR dalam RUU Keistimewan Jogjakarta, menurut dia, juga belum bisa menjadi jaminan masalah atas tanah kesultanan selama ini akan bisa tuntas. Sebab, UU tersebut masih memerlukan aturan-aturan turunan melalui peraturan pemerintah atau lainnya. "Diakui atau tidak, kesultanan Jogja itu sudah banyak berkorban bagi pemerintahan Indonesia sejak berdiri, tapi masih saja diperlakukan seperti ini," kata Joyokusumo, kembali.

Dia lantas mengungkapkan, jika seandainya Jogjakarta sudah ingin merdeka dan terpisah dari RI, sebenarnya sudah bisa dilakukan dari dulu. Pasca komitmen mendukung RI oleh HB IX sejak awal Indonesia menyatakan merdeka, peluang Jogja untuk berdiri sendiri masih terbuka. Yaitu, saat pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 1949, sebagai hasil perjanjian Meja Bundar Indonesia dan Belanda. Waktu itu, menurut Joyokusumo, Sri Sultan sempat ditawari 10 raja yang tersebar di beberapa wilayah nusantara untuk membentuk negara sendiri. "Sultan mau dijadikan raja diraja atas kerajaan-kerajaan yang ada," ungkapnya.
Tapi, saat itu, Sri Sultan HB IX menolaknya. Sultan menyatakan untuk tetap komitmen menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. "Wallahualam bagaimana Indonesia sekarang, kalau Sultan saat itu menerima tawaran menjadi raja diraja tersebut," ujarnya.

Klaim Warga Setuju
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mewakili pemerintah pusat masih ngotot bahwa opsi pemilihan gubernur langsung merupakan salah satu aturan yang harus masuk keistimewaan Jogjakarta. Bahkan, Kemendagri mengklaim, opsi penentuan gubernur lewat pilkada itu didukung warga Jogjakarta berdasar hasil survei.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan setelah mengikuti diskusi bertema Daerah Istimewa Kecewa di Jakarta kemarin (4/12). Mengapa pemerintah tidak mengubah pikiran setelah mendengar aspirasi warga Jogja? Djohermansyah membantah pemerintah tidak akomodtif dengan sikap masyarakat. "Oh nggak (mengabaikan, Red) dong. Hanya aspirasi bagaimana mengukurnya. Itu debatable," kata dia saat dicegat wartawan.
Jika ukuran aspirasinya survei, Djohermansyah menyatakan bahwa Kemendagri memiliki bukti bahwa masyarakat Jogja memilih pilkada. "Kami punya data survei, 71 persen rakyat Jogja menghendaki pemilihan langsung. Itu contohnya," ujar dia. Survei tersebut, kata dia, dilakukan pada 2010. Dia menilai, survei itu dibuat untuk mengetahui pendapat warga Jogja terkait dengan pemilihan langsung. "Ini untuk kepentingan pemerintah ya," jelasnya.

Masyarakat Jogja mana yang disurvei? Djohermansyah menyampaikan jawaban yang berbelok-belok. "Itu survei yang pernah saya baca, itu ada opsi 71 persen dukung pemilihan langsung," jelasnya. Dia buru-buru menyatakan bahwa survei tersebut bukanlah survei dari Kemendagri. "Saya pernah baca. (Tapi) itu lupa survei dari mana," tandasnya.

Sementara itu, dalam diskusi, Ketua Parade Nusantara (Persatuan Perangkat Desa Nusantara, organisi para lurah dan kades) Jogjakarta Jiono mewanti-wanti pemerintah untuk tidak memaksakan pemilihan langsung gubernur. Pernyataan yang disampaikan Presiden SBY memancing masyarakat Jogja untuk bericara. "Kami memohon betul kepada pemerintah pusat untuk menetapkan Ngarso Dalem (Sultan Hamengkubuwono X, Red) sebagai gubernur," kata Jiono.

Pria yang juga lurah Desa Mangunan, Kabupaten Bantul, itu menyatakan selama ini selalu mendapatkan aspirasi dari masyarakat. Menurut dia, jika pemerintah memaksakan Jogja untuk melakukan pilkada, Jiono menjamin bahwa mayoritas warga Jogja akan memboikot pelaksanaan pilkada. "Kami tidak akan ikut pilkada," tegasnya.

Selamatkan Kerajaan Jawa .. jangan biarkan orang2 politik membikin jogja goyang.. Ingat Banyak orang ngiri Terhadap Kanjeng Sulta...

0 komentar:

Posting Komentar